Pada
tanggal 31 Desember 2015 Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah resmi dibuka. MEA
bertujuan untuk menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai kawasan pasar bebas,
ekonomi yang berdaya saing (kompetitif), wilayah pembangunan ekonomi yang
merata dan kawasan yang tergabung dalam ekonomi global. Untuk itu, negara-negara ASEAN menyepakati untuk
melakukan liberalisasi pada lima aspek ekonomi: barang, jasa, investasi, modal
dan tenaga kerja terampil.
Akibat
dari liberalisasi kelima aspek tersebut memungkinkan terjadinya persaingan
antar negara ASEAN khususnya Indonesia. Banyak sekali arus barang, jasa,
investasi, modal dan tenaga kerja terampil yang sudah masuk dan beredar ke
kawasan Indonesia. Bahkan, sebelum MEA diresmikan tenaga kerja asing
tersebut sudah menjamur di
Indonesia.
Sebenarnya,
Indonesia belum siap dalam menghadapi MEA. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua
Bidang Organisasi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Edy Suandi Hamid ” Indonesia
belum siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, hal ini disebabkan karena
daya saing ekonomi nasional dan daerah belum siap”. Mengenai persiapan di dalam
negeri, Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan
Imam Pambagyo mengatakan bahwa dalam mengahadapi MEA 2015 Indonesia harus
memperkuat daya saing, mengamankan pasar domestik ikut serta mendorong ekspor (http://regional.kompasiana.com/2014/04/25).
Daya
saing Indonesia untuk berkiprah dalam kancah MEA masih sangat rendah. Produksi
barang dan jasa, investasi, keterbatasan modal dan kualitas tenaga kerja yang
rendah menjadikan Indonesia kalah saing dengan negara ASEAN lain. Ketidaksiapan
Indonesia dalam menghadapi MEA sangat berdampak pada kondisi perekonomian
Indonesia khususnya terhadap para buruh, karyawan dan pengusaha.
Para
buruh dan karyawan terancam di PHK karena dalam hal ini investor lebih memilih
pekerja murah atas nama efisiensi sehingga melakukan pemutusan kerja. Bahkan
PHK tersebut terjadi secara besar-besaran di Indonesia. Namun, pemerintah
merespon lambat atas nasib pekerja yang di PHK dan bahkan pemerintah tidak
transparan dalam mengungkap masalah ini seolah-olah PHK di Indonesia tidak
pernah terjadi. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Ketua MPR Zulkifli
Hasan meminta kepada pemerintah pusat untuk lebih transparan mengenai data
valid pekerja yang di PHK dan menyampaikan kepada pihak terkait. Sehingga,
pemerintah daerah melalui gubernur, bupati dan walikota bisa menyadari telah
terjadi PHK (http://www.republika.co.id).
Sebelumnya,
PHK massal sudah diprediksi pasti terjadi di era MEA, namun pemerintah tidak
memiliki langkah sistemik dalam mengatasinya. Pemerintah cenderung mengembalikan
penyelesaiannya pada inisiatif pribadi. Kalau pun diberikan bantuan permodalan,
tidak semua korban PHK mendapat bantuan tersebut.
Padahal
dampak dari adanya PHK massal ini sangatlah berbahaya jika pemerintah tidak
memiliki langkah sistemik dalam menghadapinya yakni sangat memungkinkan
terjadinya gelombang pengangguran besar-besaran yang akhirnya disusul oleh
kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, rendahnya tingkat
kesehatan masyarakat, dan merambahnya kasus kejahatan atau kriminal.
Hal
tersebut menjadi bukti bahwa negara tidak bertanggungjawab penuh dan lemah
dalam mengatasi dampak kebijakan yang diambil. Padahal dalam pandangan Islam, MEA hakikatnya adalah liberalisasi ekonomi.
Liberalisasi akan makin meminggirkan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam
sektor ekonomi dan pengurusan rakyat. Semuanya diserahkan kepada individu dan
mekanisme pasar. Hal itu jelas menyalahi Islam. Islam menetapkan bahwa
pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya. Rasul saw. bersabda:
«فَاْلأَمِيرُ
الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ»
Pemimpin
(kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan
mereka (HR Muslim).
MEA
yang bernafaskan liberalisasi mengharuskan peran negara dalam mengurusi perdagangan dan investasi luar negeri
terminimalisasi. Hal itu menyalahi Islam. Dalam Islam, perdagangan luar negeri
merupakan hubungan antarnegara dan itu ada dalam tanggung jawab negara. Dalam Islam negara memiliki kewenangan mengatur
berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain, termasuk hubungan rakyatnya
dengan rakyat negara lain baik dalam bidang ekonomi, perdagangan atau lainnya.
Karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan bebas tanpa kontrol negara.
Wahai Kaum
Muslimin!, Sesungguhnya Islam turun sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin (rahmat bagi seluruh alam) dengan seperangkat
aturan untuk meri’ayah ummat baik
dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan sebgainya.
Maka, untuk menghilangkan ancaman dan bahaya akibat MEA dan liberalisasi pada
umumnya, tidak ada jalan lain kecuali dengan menerapkan sistem Islam bukan
sistem yang lain, dengan hukum syariah Islam bukan hukum yang lain. Namun
penerapan sistem Islam secara menyeluruh tersebut hanya akan berdiri tegak di
bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala min
Haji Nubuwwah. Untuk itu, marilah kita bersama-sama untuk memperjuangkan
kembali kehidupan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
WalLâh a’lam
bi ash-shawâb. []
Tidak ada komentar :
Posting Komentar