Kamis, 25 Februari 2016

KONSEKUENSI MEA: PHK MASSAL



Pada tanggal 31 Desember 2015 Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah resmi dibuka. MEA bertujuan untuk menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai kawasan pasar bebas, ekonomi yang berdaya saing (kompetitif), wilayah pembangunan ekonomi yang merata dan kawasan yang tergabung dalam ekonomi global. Untuk itu, negara-negara ASEAN menyepakati untuk melakukan liberalisasi pada lima aspek ekonomi: barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil.
Akibat dari liberalisasi kelima aspek tersebut memungkinkan terjadinya persaingan antar negara ASEAN khususnya Indonesia. Banyak sekali arus barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil yang sudah masuk dan beredar ke kawasan Indonesia. Bahkan, sebelum MEA diresmikan tenaga kerja asing tersebut  sudah menjamur di Indonesia. 
Sebenarnya, Indonesia belum siap dalam menghadapi MEA. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Bidang Organisasi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Edy Suandi Hamid ” Indonesia belum siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, hal ini disebabkan karena daya saing ekonomi nasional dan daerah belum siap”. Mengenai persiapan di dalam negeri, Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Imam Pambagyo mengatakan bahwa dalam mengahadapi MEA 2015 Indonesia harus memperkuat daya saing, mengamankan pasar domestik ikut serta mendorong ekspor (http://regional.kompasiana.com/2014/04/25).
Daya saing Indonesia untuk berkiprah dalam kancah MEA masih sangat rendah. Produksi barang dan jasa, investasi, keterbatasan modal dan kualitas tenaga kerja yang rendah menjadikan Indonesia kalah saing dengan negara ASEAN lain. Ketidaksiapan Indonesia dalam menghadapi MEA sangat berdampak pada kondisi perekonomian Indonesia khususnya terhadap para buruh, karyawan dan pengusaha.
Para buruh dan karyawan terancam di PHK karena dalam hal ini investor lebih memilih pekerja murah atas nama efisiensi sehingga melakukan pemutusan kerja. Bahkan PHK tersebut terjadi secara besar-besaran di Indonesia. Namun, pemerintah merespon lambat atas nasib pekerja yang di PHK dan bahkan pemerintah tidak transparan dalam mengungkap masalah ini seolah-olah PHK di Indonesia tidak pernah terjadi. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan meminta kepada pemerintah pusat untuk lebih transparan mengenai data valid pekerja yang di PHK dan menyampaikan kepada pihak terkait. Sehingga, pemerintah daerah melalui gubernur, bupati dan walikota bisa menyadari telah terjadi PHK (http://www.republika.co.id).
Sebelumnya, PHK massal sudah diprediksi pasti terjadi di era MEA, namun pemerintah tidak memiliki langkah sistemik dalam mengatasinya. Pemerintah cenderung mengembalikan penyelesaiannya pada inisiatif pribadi. Kalau pun diberikan bantuan permodalan, tidak semua korban PHK mendapat bantuan tersebut.
Padahal dampak dari adanya PHK massal ini sangatlah berbahaya jika pemerintah tidak memiliki langkah sistemik dalam menghadapinya yakni sangat memungkinkan terjadinya gelombang pengangguran besar-besaran yang akhirnya disusul oleh kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, rendahnya tingkat kesehatan masyarakat, dan merambahnya kasus kejahatan atau kriminal.
Hal tersebut menjadi bukti bahwa negara tidak bertanggungjawab penuh dan lemah dalam mengatasi dampak kebijakan yang diambil. Padahal dalam pandangan Islam, MEA hakikatnya adalah liberalisasi ekonomi. Liberalisasi akan makin meminggirkan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam sektor ekonomi dan pengurusan rakyat. Semuanya diserahkan kepada individu dan mekanisme pasar. Hal itu jelas menyalahi Islam. Islam menetapkan bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya. Rasul saw. bersabda:
«فَاْلأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ»
Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka (HR Muslim).
MEA yang bernafaskan liberalisasi mengharuskan peran negara dalam mengurusi perdagangan dan investasi luar negeri terminimalisasi. Hal itu menyalahi Islam. Dalam Islam, perdagangan luar negeri merupakan hubungan antarnegara dan itu ada dalam tanggung jawab negara. Dalam Islam negara memiliki kewenangan mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain, termasuk hubungan rakyatnya dengan rakyat negara lain baik dalam bidang ekonomi, perdagangan atau lainnya. Karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan bebas tanpa kontrol negara.
Wahai Kaum Muslimin!, Sesungguhnya Islam turun sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin (rahmat bagi seluruh alam) dengan seperangkat aturan untuk meri’ayah ummat baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan sebgainya. Maka, untuk menghilangkan ancaman dan bahaya akibat MEA dan liberalisasi pada umumnya, tidak ada jalan lain kecuali dengan menerapkan sistem Islam bukan sistem yang lain, dengan hukum syariah Islam bukan hukum yang lain. Namun penerapan sistem Islam secara menyeluruh tersebut hanya akan berdiri tegak di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala min Haji Nubuwwah. Untuk itu, marilah kita bersama-sama untuk memperjuangkan kembali kehidupan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []


Tidak ada komentar :

Posting Komentar