Banjir
Bandung: Akibat Tata Ruang Kota Ala Kapitalis
Pada
hari Senin, 24 Oktober 2016 hujan dengan intensitas tinggi mengguyur Kota
Bandung dan sekitarnya. Hujan tersebut mengakibatkan terendamnya beberapa jalan
utama Kota Bandung khususnya Kawasan Pasteur dan Pagarsih sebagai kawasan
terdampak yang paling parah.
Ani
Rukmini (BMKG Stasiun Kelas 1 Bandung) mengatakan, lembaganya mencatat hujan yang terjadi
di Kota Bandung yang menyebabkan sejumlah jalan terendam banjir akibat hujan
ekstrim. “Saat kejadian itu hujan antara jam 11.40 WIB sampai 13.10 WIB itu
tercatat (intensitasnya) di kami ini 77,5 milimeter. Itu kategorinya sangat
lebat sekali, ekstrim,” (nasional.tempo.co).
Pada
dasarnya, bahwa bencana alam merupakan qodho’ (ketetapan dari Allah),
manusia tidak bisa menghindarinya lagi. Walaupun merupakan qodho’ dari
Allah, manusia juga punya andil sebagai penyebab terjadinya bencana alam. Maka
dalam hal ini, terjadinya banjir Bandung, selain akibat dari curah hujan dengan
intensitas tinggi serta meluapnya sungai Citepus, banjir tersebut diperparah
dengan buruknya sistem drainase di Kawasan Bandung itu sendiri. Minimnya
penyerapan air ketika hujan turun mengakibatkan air tersebut seluruhnya
mengalir ke sungai dan jika sungai tersebut tidak bisa menampung maka air akan
meluap ke permukaan. Hal tersebut disebabkan adanya alih fungsi lahan secara
besar-besaran dari pertanian menuju industri, perumahan dan atau fasilitas umum
lainnya.
Keberadaan
kota besar selalu terkesan metropolitan sehingga menuntut infrastruktur yang
berkembang, gedung-gedung yang gemilang, namun tak mengindahkan aspek
lingkungan. Banyaknya alih fungsi lahan di Kota Bandung khususnya lahan
pertanian menuju kawasan industri tiap tahunnya terjadi secara signifikan. Padahal
secara geografis Bandung dikelilingi pegunungan yang menjadi keuntungan dalam sektor
agraris.
Berdasarkan
data Dinas Pertanian dan Pangan (Dispertapa) Kota Bandung pada tahun 2015,
lahan pertanian mencapai sebesar 988 hektar dan pada tahun 2016 ada penyusutan
sekitar 252 hektar, menjadi 736 hektar. Lahan pertanian tersebut, beralih
fungsi menjadi perumahan, properti hingga industri.
Memang
begitulah tata kota dalam sistem kapitalisme, selalu mengedepankan keserakahan
tanpa mengindahkan aspek lingkungan. Pembangunan yang hanya didominasi oleh
para pemilik modal yang berkuasa, namun merugikan ummat (masyarakat) setempat.
Pembangunan gedung-gedung tinggi, perumahan, villa dan sebagainya sebagian
besar didirikan di lahan produktif yang jika turun hujan mampu menyerap air
dalam jumlah banyak. Namun adanya alih fungsi lahan tersebut, mengakibatkan hujan
tersebut tidak terserap yang akhirnya meluap dan terjadi banjir.
Maka,
bencana banjir yang terjadi di Kota Bandung tersebut adanya andil (campur
tangan) manusia sebagai penyebabnya. Terbuktilah firman Allah dalam Al-Qur’an
Surah Ar-Ruum: 41
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh
perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41).
Berdasarkan ayat tersebut, maka bencana banjir Bandung
disebabkan oleh manusia (kapitalis) yang mendirikan banyak bangunan di lahan
produktif.
Dalam sistem saat ini, sebuah keniscayaan tata kota tak
manusiawi yang banyak menguntungkan para kapitalis namun merugikan ummat banyak
dilakukan. Yaitu sistem yang hanya melihat kepentingan individu dibanding
kepentingan masyarakat umum. Sistem yang didasarkan atas dasar manfaat serta
keserakahan manusia semata.
Keserakahan manusia dalam mengelola alam menjadi
penyebab bencana alam, tata ruang wilayah yang tidak baik turut andil pula di
dalamnya. Dalam tata ruang ini harusnya pemerintah tidak memberikan izin
suatu lahan dijadikan sebagai tempat pemukiman/industri, jika wilayah tersebut
berbahaya.
Berbeda dengan Islam, tata ruang wilayah yang menjadi
kawasan konservasi dan resapan air, dengan berbagai tanaman dan pohon yang ada
di dalamnya, tidak boleh dikonversi menjadi pemukiman yang bisa merusak
fungsinya. Ini juga merupakan lahan milik umum, dan termasuk dalam kategori hima (daerah yang diproteksi) agar tidak dirusak
atau dialihfungsikan. Jika tata ruang ini tidak diindahkan, maka daerah-daerah
di bawahnya akan terkena dampaknya, yaitu tergenang air kiriman dari kawasan
puncak, karena air tersebut tidak lagi bisa diserap oleh kawasan di atasnya,
karena telah dialihfungsikan.
Di sini, Qadhi Hisbah dan Dar al-Hisbah bisa melakukan tindakan paksa, jika
penggunaan lahan-lahan milik umum tersebut bisa membahayakan kepentingan
publik, seperti kecelakaan, meluapnya air sungai, banjir rob air laut maupun
banjir kiriman yang semuanya terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak
sebagaimana mestinya. Bangunan rumah, bahkan masjid atau fasilitas umum lainnya
bisa dirobohkan untuk menjaga agar lahan tersebut tetap dipertahankan sebagaimana
fungsi dan peruntukannya (hizb-tahrir.or.id)
Begitulah Islam mengatur secara terperinci seluruh
aspek kehidupan yang para penguasanya akan sangat memperhatikan bagaimana tata
ruang wilayah. Sehingga jika terdapat wilayah yang tidak layak dijadikan
lahan pemukiman maka masyarakat dilarang mendirikan pemukiman. Pengaturan tata
kota dalam Islam hanya akan terwujud dalam institusi Khilafah Islamiyah. Maka
hanya dengan penerapan syariat Islamlah yang bisa meminimalisasi terjadinya
kemungkinan bencana alam serta akan memberikan jaminan keamanan dan
kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Wa’allahu ‘alam bi Ashawwab []