Kamis, 27 Oktober 2016

Banjir Bandung: Akibat Tata Ruang Kota Ala Kapitalis


Banjir Bandung: Akibat Tata Ruang Kota Ala Kapitalis

Pada hari Senin, 24 Oktober 2016 hujan dengan intensitas tinggi mengguyur Kota Bandung dan sekitarnya. Hujan tersebut mengakibatkan terendamnya beberapa jalan utama Kota Bandung khususnya Kawasan Pasteur dan Pagarsih sebagai kawasan terdampak yang paling parah.
Ani Rukmini (BMKG Stasiun Kelas 1 Bandung) mengatakan, lembaganya mencatat hujan yang terjadi di Kota Bandung yang menyebabkan sejumlah jalan terendam banjir akibat hujan ekstrim. “Saat kejadian itu hujan antara jam 11.40 WIB sampai 13.10 WIB itu tercatat (intensitasnya) di kami ini 77,5 milimeter. Itu kategorinya sangat lebat sekali, ekstrim,” (nasional.tempo.co).
Pada dasarnya, bahwa bencana alam merupakan qodho’ (ketetapan dari  Allah), manusia tidak bisa menghindarinya lagi. Walaupun merupakan qodho’ dari Allah, manusia juga punya andil sebagai penyebab terjadinya bencana alam. Maka dalam hal ini, terjadinya banjir Bandung, selain akibat dari curah hujan dengan intensitas tinggi serta meluapnya sungai Citepus, banjir tersebut diperparah dengan buruknya sistem drainase di Kawasan Bandung itu sendiri. Minimnya penyerapan air ketika hujan turun mengakibatkan air tersebut seluruhnya mengalir ke sungai dan jika sungai tersebut tidak bisa menampung maka air akan meluap ke permukaan. Hal tersebut disebabkan adanya alih fungsi lahan secara besar-besaran dari pertanian menuju industri, perumahan dan atau fasilitas umum lainnya.
Keberadaan kota besar selalu terkesan metropolitan sehingga menuntut infrastruktur yang berkembang, gedung-gedung yang gemilang, namun tak mengindahkan aspek lingkungan. Banyaknya alih fungsi lahan di Kota Bandung khususnya lahan pertanian menuju kawasan industri tiap tahunnya terjadi secara signifikan. Padahal secara geografis Bandung dikelilingi pegunungan yang menjadi keuntungan dalam sektor agraris.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Pangan (Dispertapa) Kota Bandung pada tahun 2015, lahan pertanian mencapai sebesar 988 hektar dan pada tahun 2016 ada penyusutan sekitar 252 hektar, menjadi 736 hektar. Lahan pertanian tersebut, beralih fungsi menjadi perumahan, properti hingga industri.
Memang begitulah tata kota dalam sistem kapitalisme, selalu mengedepankan keserakahan tanpa mengindahkan aspek lingkungan. Pembangunan yang hanya didominasi oleh para pemilik modal yang berkuasa, namun merugikan ummat (masyarakat) setempat. Pembangunan gedung-gedung tinggi, perumahan, villa dan sebagainya sebagian besar didirikan di lahan produktif yang jika turun hujan mampu menyerap air dalam jumlah banyak. Namun adanya alih fungsi lahan tersebut, mengakibatkan hujan tersebut tidak terserap yang akhirnya meluap dan terjadi banjir.
Maka, bencana banjir yang terjadi di Kota Bandung tersebut adanya andil (campur tangan) manusia sebagai penyebabnya. Terbuktilah firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Ar-Ruum: 41
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41).
Berdasarkan ayat tersebut, maka bencana banjir Bandung disebabkan oleh manusia (kapitalis) yang mendirikan banyak bangunan di lahan produktif.
Dalam sistem saat ini, sebuah keniscayaan tata kota tak manusiawi yang banyak menguntungkan para kapitalis namun merugikan ummat banyak dilakukan. Yaitu sistem yang hanya melihat kepentingan individu dibanding kepentingan masyarakat umum. Sistem yang didasarkan atas dasar manfaat serta keserakahan manusia semata.
Keserakahan manusia dalam mengelola alam menjadi penyebab bencana alam, tata ruang wilayah yang tidak baik turut andil pula di dalamnya. Dalam tata ruang ini harusnya pemerintah  tidak memberikan izin suatu lahan dijadikan sebagai tempat pemukiman/industri, jika wilayah tersebut berbahaya.
Berbeda dengan Islam, tata ruang wilayah yang menjadi kawasan konservasi dan resapan air, dengan berbagai tanaman dan pohon yang ada di dalamnya, tidak boleh dikonversi menjadi pemukiman yang bisa merusak fungsinya. Ini juga merupakan lahan milik umum, dan termasuk dalam kategori hima (daerah yang diproteksi) agar tidak dirusak atau dialihfungsikan. Jika tata ruang ini tidak diindahkan, maka daerah-daerah di bawahnya akan terkena dampaknya, yaitu tergenang air kiriman dari kawasan puncak, karena air tersebut tidak lagi bisa diserap oleh kawasan di atasnya, karena telah dialihfungsikan.
Di sini, Qadhi Hisbah dan Dar al-Hisbah bisa melakukan tindakan paksa, jika penggunaan lahan-lahan milik umum tersebut bisa membahayakan kepentingan publik, seperti kecelakaan, meluapnya air sungai, banjir rob air laut maupun banjir kiriman yang semuanya terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak sebagaimana mestinya. Bangunan rumah, bahkan masjid atau fasilitas umum lainnya bisa dirobohkan untuk menjaga agar lahan tersebut tetap dipertahankan sebagaimana fungsi dan peruntukannya (hizb-tahrir.or.id)
Begitulah Islam mengatur secara terperinci seluruh aspek kehidupan yang para penguasanya akan sangat memperhatikan bagaimana tata  ruang wilayah. Sehingga jika terdapat wilayah yang tidak layak dijadikan lahan pemukiman maka masyarakat dilarang mendirikan pemukiman. Pengaturan tata kota dalam Islam hanya akan terwujud dalam institusi Khilafah Islamiyah. Maka hanya dengan penerapan syariat Islamlah yang bisa meminimalisasi terjadinya kemungkinan bencana alam serta akan memberikan jaminan  keamanan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Wa’allahu ‘alam bi Ashawwab []

Tidak ada komentar :

Posting Komentar