Tata
Kota Tak Manusiawi Ala Kapitalis
Pada
beberapa hari yang lalu, Jakarta dihebohkan dengan kasus penggusuran warga Kampung Pulo. Penggusuran tersebut dilakukan oleh satpol PP/pihak yang
berwenang, dengan tidak mengedepankan rasa kemanusiaan, mereka bersikeras
melakukan penggusuran. Alhasil, penggusuran
ini diwarnai penolakan
warga yang tetap mempertahankan tempat tinggalnya. Maunya menertibkan tata kota dan
menyelesaikan masalah banjir yang melanda Jakarta dengan normalisasi kali
Ciliwung tetapi malah menimbulkan masalah baru bagi
warga sekitar kali Ciliwung (Kampung Pulo). Hal yang sama terjadi pada kasus
penertiban jalur KA di sepanjang Jawa, dengan alasan merapikan, semua
pedagang di sekitar jalur kereta digusur. Mereka kehilangan pekerjaan, usaha dan hartanya tanpa
kompensasi.
Kasus-kasus tersebut hanya sebagian contoh, tata kota ala
kapitalisme yang lebih berpihak pada kepentingan pemodal
besar, sementara korbannya rakyat kecil. Di setiap rezim pasti ada
kecenderungan untuk memihak satu kepentingan sesuai dengan pemilik modal besar.
Tanpa memperhatikan nilai kemanusiaan, menyiapkan solusi atas problem ekonomi
paska penggusuran dan aspek psikologis.
Padahal, dalam sebuah pembangunan, sebelumnya harus ada
perencanaan yang matang. Begitu pun dengan menyelesaikan masalah banjir di
Jakarta atau pun penertiban jalur kereta api di sepanjang Jawa, haruslah
memliki perencanaan yang matang. Perencanaan tersebut harus adil, sehingga
tidak merugikan masyarakat. Karena pada hakikatnya penataan ruang merupakan sebuah upaya
membuat rencana untuk kepentingan masyarakat. Untuk itu langkah ke depan
selanjutnya adalah bagaimana membuat masyarakat menjadi bagian dari proses
perencanaan.
Namun karena dibalik kasus
penggusuran tersebut ada kepentingan lain, yakni adanya campur tangan dari
pihak swasta/asing sehingga peran pemerintah pun bisa dikendalikan atas
swasta/asing sebagai pemilik modal. Dengan begitu, baik perencanaan tersebut
matang atau tidak, yang menjadi tujuan utama adalah keuntungan sehingga tidak
memerhatikan dampak yang ditimbulkan.
Kasus-kasus ini juga membuktikan kegagalan
sistem demokrasi dalam menuntaskan masalah. Yakni penyelesaian masalah banjir
Jakarta tidak bisa diatasi sendiri oleh gubernur Jakarta karena butuh tempat
relokasi penduduk sekaligus penyediaan lapangan kerja yang memerlukan kemauan
politik antar gubernur. Hal ini pula menunjukkan
bahwa dalam sistem demokrasi pemerintah gagal dalam menyelesaikan permasalahan
lingkungan dan masih terpengaruh oleh para pemilik modal sehingga secara tidak
langsung mendzalimi rakyat.
Menyelesaikan masalah banjir, penataan ruang yang baik memang
merupakan PR bagi pemerintah. Islam sendiri telah menganjurkan untuk menjaga
dan menata lingkungan/tata ruang dengan sebaik mungkin, tetapi dengan tidak
menghilangkan hak/wewenang rakyat dalam mendapat tempat tinggal dan pekerjaan.
Pembenahan tata ruang kota menuju perbaikan memang sangat perlu
dilakukan, namun jangan sampai mendzalimi rakyat, apalagi dengan melakukan
penggusuran secara agresif dan tanpa solusi bagi rakyat yang tergusur. Penataan
ruang kota tersebut dapat dilakukan dengan kembali pada Islam dan
menjalani seluruh aturan Allah yakni syariah Islam_bukan hukum buatan manusia
yang sarat akan kepentigan manusia. Dengan menerapkan hukum Allah tersebut,
hanya bisa diwujudkan di bawah sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Dengan itu, maka
penataan kota dan pemberantasan masalah lingkungan dapat teratasi dengan baik.
Wallaahu
a’lam bi ash-shawaab []
Tidak ada komentar :
Posting Komentar