Rabu, 25 November 2015

Tata Kota Tak Manusiawi Ala Kapitalis



Tata Kota Tak Manusiawi Ala Kapitalis

Pada beberapa hari yang lalu, Jakarta dihebohkan dengan kasus penggusuran warga Kampung Pulo. Penggusuran tersebut dilakukan oleh satpol PP/pihak yang berwenang, dengan tidak mengedepankan rasa kemanusiaan, mereka bersikeras melakukan penggusuran.  Alhasil, penggusuran ini diwarnai penolakan warga yang tetap mempertahankan tempat tinggalnya. Maunya  menertibkan tata kota dan menyelesaikan masalah banjir yang melanda Jakarta dengan normalisasi kali Ciliwung tetapi malah menimbulkan masalah baru bagi warga sekitar kali Ciliwung (Kampung Pulo). Hal yang sama terjadi pada kasus penertiban  jalur KA di sepanjang Jawa, dengan alasan merapikan, semua pedagang di sekitar jalur kereta digusur. Mereka kehilangan pekerjaan, usaha dan hartanya tanpa kompensasi.
Kasus-kasus tersebut hanya sebagian contoh, tata kota ala kapitalisme yang lebih  berpihak pada kepentingan pemodal besar, sementara korbannya rakyat kecil. Di setiap rezim pasti ada kecenderungan untuk memihak satu kepentingan sesuai dengan pemilik modal besar. Tanpa memperhatikan nilai kemanusiaan, menyiapkan solusi atas problem ekonomi paska penggusuran dan aspek psikologis.
Padahal, dalam sebuah pembangunan, sebelumnya harus ada perencanaan yang matang. Begitu pun dengan menyelesaikan masalah banjir di Jakarta atau pun penertiban jalur kereta api di sepanjang Jawa, haruslah memliki perencanaan yang matang. Perencanaan tersebut harus adil, sehingga tidak merugikan masyarakat. Karena pada hakikatnya penataan ruang merupakan sebuah upaya membuat rencana untuk kepentingan masyarakat. Untuk itu langkah ke depan selanjutnya adalah bagaimana membuat masyarakat menjadi bagian dari proses perencanaan.
Namun karena dibalik kasus penggusuran tersebut ada kepentingan lain, yakni adanya campur tangan dari pihak swasta/asing sehingga peran pemerintah pun bisa dikendalikan atas swasta/asing sebagai pemilik modal. Dengan begitu, baik perencanaan tersebut matang atau tidak, yang menjadi tujuan utama adalah keuntungan sehingga tidak memerhatikan dampak yang ditimbulkan.
Kasus-kasus ini juga membuktikan kegagalan sistem demokrasi dalam menuntaskan masalah. Yakni penyelesaian masalah banjir Jakarta tidak bisa diatasi sendiri oleh gubernur Jakarta karena butuh tempat relokasi penduduk sekaligus penyediaan lapangan kerja yang memerlukan kemauan politik antar gubernur. Hal ini pula menunjukkan bahwa dalam sistem demokrasi pemerintah gagal dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan dan masih terpengaruh oleh para pemilik modal sehingga secara tidak langsung mendzalimi rakyat.
Menyelesaikan masalah banjir, penataan ruang yang baik memang merupakan PR bagi pemerintah. Islam sendiri telah menganjurkan untuk menjaga dan menata lingkungan/tata ruang dengan sebaik mungkin, tetapi dengan tidak menghilangkan hak/wewenang rakyat dalam mendapat tempat tinggal dan pekerjaan.
Pembenahan tata ruang kota menuju perbaikan memang sangat perlu dilakukan, namun jangan sampai mendzalimi rakyat, apalagi dengan melakukan penggusuran secara agresif dan tanpa solusi bagi rakyat yang tergusur. Penataan ruang kota tersebut dapat dilakukan dengan kembali pada Islam dan menjalani seluruh aturan Allah yakni syariah Islam_bukan hukum buatan manusia yang sarat akan kepentigan manusia. Dengan menerapkan hukum Allah tersebut, hanya bisa diwujudkan di bawah sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Dengan itu, maka penataan kota dan pemberantasan masalah lingkungan dapat teratasi dengan baik.
Wallaahu a’lam bi ash-shawaab []

Tidak ada komentar :

Posting Komentar